RSS

MEMPERTAHANKAN KEGIATAN REMISI DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAM

Selama proses menjalankan pidana untuk mencapai tujuan pemidanaan, tingkah laku dan sikap tindak narapidana diatur dalam suatu sistem yaitu yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan. “Sistem pemasyarakatan bagi terpidana yang menjalani hukuman sebenarnya sudah sejak tahun 1964 diberlakukan sebagai pengganti sistem boci peninggalan kolonial (Rahardi Ramelan:42). Sistem kepenjaraan pada zaman kolonial mempunyai pengaturan konvensional mengenai mengontrol perilaku narapidana di dalam penjara, berbeda dengan Sistem Pemasyarakatan yang menggunakan sistem re integrasi kepada masyarakat berbeda dengan sistem konvensional.Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 40 Gestichtenreglement ayat (2) yang menyatakan: “Semua perintah pegawai penjara harus dilakukan segera dan tidak dibantah sedikitpun” dan juga dalam bab keamanan penjara diatur dalam pasal 69 ayat (2) mengenai pidana pukul rotan kepada orang-orang yang melanggar disiplin dalam penjara. Sementara dalam Pasal 73 ayat (1) Bila ternyata ada perlawanan dan percobaan untuk mengganggu ketertiban, kepada penjara atau pegawai yang menggantinya berwenang menjatuhkan pidana tutupan sunyi kepada pelaku dan kalau perlu dibelenggu.(legalitas.org)

Berbeda dengan sistem pemasyarakatan yang mengutamakan pemberian hak-hak narapidana dalam rangka memenuhi hak asasi manusia dengan menghindari perlakuann yang tidak manusiawi terhadap narapidana, sesuai dengan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners butir ke 31 menyebutkan
31. Corporal punishment, punishment by placing in a dark cell, and all cruel, inhuman or degrading punishments shall be completely prohibited as punishments for disciplinary offences.
Dalam ketentuan Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap Tahanan tersebut yang diadopsi oleh Kongres Pertama PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar, diadakan di Jenewa pada tahun 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial oleh resolusinya 663C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) dari 13 Mei 1977 menyatakan bahwa Hukuman fisik, hukuman dengan menempatkan dalam sel gelap, dan semua, hukuman yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan harus sepenuhnya dilarang sebagai hukuman untuk pelanggaran disiplin.

Sehingga pada sistem pemasyarakatan sebagai ketentuan untuk mengendalikan tingkah laku narapidana dalam pencapaian tujuan pemidanaan tidak digunakan cara-cara berupa hukuman fisik yang kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan martabat juga hak asasi manusia seperti pada zaman kolonial, namun dalam sistem ini digunakan sistem pemenuhan hak-hak tersangka dengan salah satunya adalah pemberian remisi bagi narapidana yang telah mengikuti program dan tata tertib yang baik

Michael cavadino dan James Dignan dalam The Penal System: An Intorduction hlm: 288 mengemukakan mengenai pemberian remisi:
”......sentences of imprisonment under the prison act 1898. prisoners had no right to have their sentences remitted: they had no earn it under an elaborate system of marks which were awarded for industry and good conduct. because of this, remmision was seen as an instrument for controling the behaviour of prison inmates. Over time, however, remission was increasingly used primarily to control the size of the prison population. Although it remained in theory as a reward for good behaviour while in prison, in practice remission of a set fraction of the prison sentence became automatic unless some or all of it was lost for breaches of prison rules or discipline.

Cavadino dan Dignan mengemukakan bahwa dalam sejarahnya sebelum tahun 1898 narapidana tidak mempunyai hak untuk mendapatkan remisi, mereka tidak mendapatkan remisi sebagai penghargaan dari industri di penjara dan tindakan mereka yang baik. Karena itu, pemberian remisi dipandang sebagai alat untuk mengendalikan perilaku narapidana, meskipun tetap dalam teori sebagai hadiah untuk perilaku yang baik selama di penjara, dalam remisi praktek sebagian sistem kepenjaraan menjadi otomatis kecuali beberapa atau semua hak itu hilang untuk pelanggaran aturan penjara ataupun disiplin.

Karena itu untuk mempertahankan konsep kepenjaraan di Indonesia yang menggunakan konsep sistem Pemasyarakatan, kiranya pemberian remisi sebagai salah satu “instrument for controling the behaviour of prison inmates” atau instrumen untuk mengendalikan perilaku narapidana dapat tetap dipertahankan sehingga perlakuan yang tidak manusiawi terhadap narapidana dalam rangka pengendalian perilaku narapidana dapat dihindari.

Durkheim memperkenalkan istilah anomi adalah hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai (Topo Santoso:59). Menurut teori ini penyebab kejahatan ”menunjuk kepada keadaan ketiadaan norma di dalam sistem sosial disuatu masyarakat.(Rasyid Ariman:61) Menurut teori ini jika terjadi ketiadaan suatu norma maka ketiadaan norma tersebut akan menjadi faktor pencetus terjadinya suatu kejahatan, keadaan ketiadaan norma tersebut akan mencari intrumen pengganti agar suatu sistem dapat tetap berjalan. Dalam lingkup pemberian remisi terhadap narapidana, instrumen mengendalikan perilaku narapidana dengan pemberian remisi merupakan bagian dari sistem , jika kekuatan mengendalikan perilaku narapidana tersebut hilang maka dikhawatirkan akan terjadi kepincangan dalam sistem dan sistem secara otomatis akan mencari penggantinya untuk menutupi kepincangan tersebut, yaitu kemungkinan terjadinya kekerasan fisik yang akan dialami oleh narapidana sebagai upaya untuk mengendalikan perilakunya di dalam Lapas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar Rekan-rekan ku: